Cinta
adalah mata angin yang berhembus diantara 8 penjuru langkahmu
Ketika
cinta pergi, biarkan ia menemukan jalannya sendiri untuk kembali.
Jadilah, maka terjadilah ia. Demikian salah satu bunyi kalam Tuhan yang begitu
aku yakini kebenaran dan tak sedikitpun ada rasa keraguan didalamnya. Seperti
halnya cinta yang bersumber dari Sang Maha Indah. Rasa ini merupakan anugerah
yang membuat kehidupan menjadi terasa lebih memiliki warna. Dan bila keindahan
itu diasimilasikan, maka cinta sanggup mengalahkan keanggunan pelangi seusai
hujan. Cinta adalah sebuah ilusi terbesar yang mampu menyulap ketidakberdayaan
menjadi kekuatan yang sanggup menembus berbagai batas diluar akal sehat. Akan
tetapi, dibalik keagungannya cinta ternyata tak berdiri sendiri. Ada keegoan
buta yang acapkali menutup pandangan seseorang dari keindahan cinta. Dan bila
keegoan itu mendominasi akal, pikiran dan hati, maka pada akhirnya akan ada
rasa bersalah yang tak mampu disampaikan karena saat itu cinta telah menjauh.
Namaku Sultan, siswa kelas 3 sekolah menengah atas kota kembang-Bandung. Jika
kalian pernah mendengar tentang ungkapan yang mengatakan bahwa SMA merupakan
masa-masa paling indah dalam kehidupan, maka aku salah satu penganut yang
mempercayai ungkapan ini. Mengapa demikian? Sebab dimasa inilah aku
terperangkap dan mulai belajar tentang keajaiban cinta. Mengapa bisa
terperangkap dan dikatakan belajar, ini dia jawabannya.
Amy, begitulah aku sering menyebut namanya. Gadis yang kukenal semenjak remaja.
Gadis sederhana yang sangat baik untuk dijadikan sahabat. Gadis pertama yang
bersedia memberikan waktunya mendengarkan keluh kesahku. Gadis yang bersedia
tertawa meskipun gurauanku tak lucu. Gadis yang mengajarkanku tentang cinta
dalam makna sesungguhnya. Amy, sosok istimewa yang menciptakan rasa bersalah
yang dalam dihatiku.
Pertemanan kami dimulai melalui jejaring sosial Facebook. Media ini sangat
membantu kami dalam berkomunikasi. Meski awalnya semua tampak begitu biasa,
perlahan percakapan kami berlanjut dengan saling bertukar pesan dan berkirim
kabar lewat suara. Tak ada yang salah dalam hubungan kami karena kedekatan ini
hanya sebatas persahabatan, tak lebih. Namun seiring berjalannya waktu, timbul
perasaan yang sangat sulit untuk diungkapkan. Entah apa yang menyebabkan semua
terjadi? Ada sesuatu yang hilang ketika aku tak bertemu dengannya walau hanya
sehari. Aku coba bertanya pada diri sendiri, pada teman-teman dekatku, pun pada
Tuhan tentang apa yang sebernarnya terjadi? Dan ternyata jawabannya sederhana:
aku diam-diam mulai menyukainya - maafkan aku, Amy.
Persahabatan adalah sebuah perjalanan yang memberikan banyak kisah. Namun bagaimana
bila didalam persahabatan melahirkan cinta? Apakah ini sebuah kesalahan? Jika
iya, mengapa? Dan jika tidak, berikan aku alasannya? Demikian kalimat itu terus
terngiang didalam pikiranku. Bagaimana mungkin cinta bisa hadir diantara kami?
Jika Amy sudah memiliki kekasih sama sepertiku?
“De, besok kamu sibuk nggak?”
“Enggak.
Memang kenapa?”
“Jalan yuk?”
“Jalan? Kemana kak?”
“Nontonlah. Ada film bagus lho”
“Hmmm….Aku pikir dulu, ya kak. Nggak apa-apa kan?”
“Okey deh. Aku tunggu ya”
“Tut..tut” telpon terputus
Malam ini aku masih sibuk menekuni soal-soal matematika untuk persiapan ujian.
Baru menuju kesoal 19 sebuah pesan singkat masuk kedalam ponselku: besok
siang jam 2 aku tunggu didepan rumah. Aku seperti tak percaya, maka
kubaca ulang sebelum aku yakin itu adalah sms Amy. Aku terdiam sejenak menatap
langit kamar dan tersenyum sendiri layaknya orang gila.
“Hore, Berhasiiiiiiiilllll…..” teriakku sembari mengepalkan tangan ke udara
v
Langit bersinar cerah ketika dengan hati berdebar kunantikan Amy didepan rumah.
Hari itu ia tampil dengan penampilan yang lebih berbeda. Aku menatapnya, ia
membalas dengan senyum manis. Kamipun berangkat menuju XXI.
Entah ini sebuah keberuntungan atau tidak, tak disangka langit yang tadinya
bersinar cerah tiba-tiba berubah menjadi abu-abu. Perlahan dan pasti
titik-titik air mulai mencurah dari arah langit. Aku memacu kencang kendaraan
mencari tempat berteduh. Tak ingin basah terlalu parah aku menepikan motor
disebuah warung tua yang sudah tak terpakai lagi. Kami saling memandang lalu
saling menertawakan kondisi pakaian kami yang sudah basah tanpa bentuk. Aku
membersihkan tempat duduk dan meminta Amy beristirahat sejenak menunggu hingga
hujan reda. Hujan kali ini terus menunjukkan keperkasaannya, airnya mencurah
kepermukaan bumi. Percikkannya sesekali menyentuh sepatu kami yang lembab.
Udara dingin kian menusuk hingga kedalam tulang. Kutatap wajah Amy yang pucat
dan berusaha menahan dingin. Meski agak ragu namun kuberanikan diri untuk duduk
disampingnya. Ia tak sedikitpun melarangku bahan ia memberikanku ruang untuk
berada disebelahnya. Kami memandang lurus kedepan sebelum perlahan kepalanya
bersandar dibahuku. Aroma dingin kembali mengepung kami. Aku tersentak, ketika
tangannya yang beku mengenggam tanganku.
“De, kakak boleh jujur nggak?” ucapku coba
meleburkan rasa dingin yang memeluk kami
“Iya, kak. Ada apa?” wajah Amy serius menunggu kata-kataku selanjutnya
“Kakak, mau kentut?” aku tersenyum menggodanya
“Ah, nggak asyik”
ucapnya ngambek sembari bertubi-tubi memukulku dengan manja
“De, kakak mau jujur?”
“Nggak?! Ia
memalingkan wajahnya
“Kakak, suka ade” ucapku pelan
“Mau nggak, jadi pacar kakak?”
Amy menunduk tajam menatapi ujung sepatunya tanpa sepatah kata. Beberapa saat
kami tak saling bersuara. Akupun tak berani menatapnya karena merasa bersalah
telah mengatakan sesuatu yang tak semestinya aku katakan dalam kondisi dimana
kami telah memiliki kekasih. Mungkin aku egois, tapi sesuatu yang telah terucap
tak dapat lagi ditarik kembali.
“Ya, nggak apa-apa
kalau ade juga nggak suka. Kan tinggal bilang aja”
Gadis itu masih terdiam.
“Ya sudah maafkan, kakak. Anggap saja kakak nggak bilang apa-apa” desakku
“Bukan begitu kak. Kakak kan sudah punya pacar” tiba-tiba suaranya terucap
perlahan
“Kenapa ya kak, akhir-akhir ini aku merasa tak lagi nyaman dengan Andri karena
sikapnya yang selalu marah-marah tanpa alasan”
Akupun diam tak menjawab pertanyaannya.
“Jujur, entah kenapa kakak merasa tenang kalau sudah berbicara dengan ade. Apa
alasannya kakak juga enggak tahu” aku coba menyakinkan
Amy
menatapku ragu
“Tapi bagaimana dengan Linda?” tanyanya
Aku kaget ketika ia menyebutkan nama kekasihku. Sambil melemparkan pandangan ke
berbagai arah aku mencari cara untuk kembali meyakinkannya.
“Nanti kakak akan cari cara untuk mengakhiri semuanya” jawabku tegas
Ia tak menatapku namun aku bisa merasakan titik keyakinan tumbuh disudut
matanya.
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Kakak diterima nih?”
Gadis itu hanya menunduk memainkan sepatunya yang basah
“Kakak ditolak?”
“Kalau cewek diam tandanya apa?”
“Diterima”
Ia mengangguk. Tak terbayang rasa senangku kala itu. Kulihat Amy mengutak-atik
handphonenya seperti mencari sesuatu.
“Kakak, tahu enggak?. Amy suka banget lagu ini”
Reff:
Cintaku tak pernah memandang siapa kamu
Tak
pernah menginginkan kamu lebih dari apa adanya dirimu, selalu
Cintaku
terasa sempurna karena hatimu
Selalu
menerima kekuranganku, sungguh indah cintaku
Nicky
Tirta ft. Vannesa Angel
“Kakak juga suka” aku tersenyum setuju.
Tak ada lagi kata-kata terucap. Kami lurus menatap langit yang menyisakan
titik-titik hujan yang masih menggantung didedaunan. Waktu telah menunjuk warna
jingga senja.
“Kakak enggak lapar, cari makan yuk?”
ajaknya
“Bakso sepertinya enak. Yuk!!”
Kamipun meninggalkan warung tua itu bergegas mencari makanan hangat untuk
melepaskan sisa rasa dingin yang masih melekat ditubuh kami. Meski tak jadi
menonton di XXI, namun dunia telah cukup kami miliki, terima kasih!!?
v
Kegagalan pertama menonton di XXI tidak menghalangi niat kami untuk kembali
merencanakan hari yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama. Amy kini telah
resmi mengakhiri hubungannya bersama Andri karena alasan tak lagi bisa menerima
sikapnya yang semakin tidak terkendali. Sedangkan aku, hingga kini belum juga
menemukan cara untuk memutuskan Linda. Sabtu siang usai melepaskan seragam
pramuka, aku telah berencana untuk menonton film Amazing
Spiderman yang baru
saja rilis dibioskop. Didepan teras rumah Amy sudah menungguku dengan senyum
yang selalu manis setiap harinya. Tanpa banyak basa-basi kami meluncur diantara
teriknya mentari. Deras membelah langit siang, Apapun kondisinya, cinta memang
selalu mampu menyejukkan suasana ataupun menghangatkannya.
“Hp kakak bunyi tuh, kenapa enggak diangkat”
“Ntar aja, lagi nyetir nih!”
“Angkat kak. Siapa tahu penting?” Amy memintaku menepikan motor
Aku membuka handphone. ada 4 panggilan tak terjawab: Linda
sayangku. Ku
abaikan panggilan itu, kemudian kembali memacu motor.
“Kakak, ngerti enggak sih perasaan cewek?” tiba-tiba pertanyaan
Amy menghampiriku
“Maksudnya?”
“Kakak tahukan kalau aku sayang sama kakak?”
“Iya tahu”
“Terus kapan kakak mau putusin Linda?”
“Kakak belum dapat waktu yang tepat”
“Aku butuh kejelasan tentang hubungan kita, kak?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Sepanjang perjalanan kami tak lagi berbicara.
Didepan masjid Ar-Rahman ia memintaku berhenti.
“Kak, kita sholat Ashar dulu”
Akupun melakukan sholat 4 rakaat sendirian. Usai sholat diteras masjid aku
menunggunya. Entah suggesti atau tidak, kali ini aku membuktikan mukjizat air
wudhu dan sholat. Amy menyapaku dengan ramah. Aku senang mendapati moment seperti ini. Andai sholat menjadi
jalan penenang hati, mengapa bukan jalan ini yang aku pilih untuk mendamaikan
suasana. Aku semakin merasa bersalah?!
“Kak, kenapa enggak sholat bareng? Padahal Amy ingin
diimami sama kakak” sebuah pertanyaan singkat yang kembali menusuk dalam
nuraniku.
v
Ketidaktegasan dalam mengambil keputusan menjadi awal hancurnya hubungan yang
kubangun meskipun terkadang aku sendiri tidak menginginkannya. Sebuah pesan
masuk kedalam ponselku: Abi, demikian
sederhana. Dan kutahu pasti satu kata itu dari Amy. Tidak ada yang salah dengan
kata itu karena Amy memang menginginkan hubungan yang lebih dekat denganku. Dan
panggilan abi adalah satu kata yang dia pilih untuk mengungkapkan rasa
sayangnya. Akan tetapi, pesan itu terkirim pada waktu yang kurang tepat karena
pada saat yang sama Linda sedang bersamaku.
“Kak, apa maksudnya semua ini?” tanya Linda dengan tatapan serius. Aku tak
menyangka jika Linda juga membaca pesan itu
“Siapa Amy?”
“Amy itu…..?” belum sempat kalimatku lengkap Linda kembali memotong
“Oo….Jadi kalian selama ini selingkuh dibelakangku” bentaknya
“Begini de. Biar kakak jelaskan dulu”
“Enggak perlu. Aku tahu selama ini kakak tidak
mengangkat telponku karena kakak sedang bersama diakan?” nada suaranya semakin
meninggi
“De, biar kakak jelaskan dulu?”
“Enggak perlu”
Seperti tanpa kendali kata-kata Linda mulai dipenuhi emosi. Dengan gusar ia
mencoba menghentikan laju motorku. Aku tetap berusaha tenang. Namun luapan
amarahnya terus-menerus membuncah hingga menemui titik tertingginya. Linda
bersikeras turun, tangannya tak henti-henti memukul punggungku memaksaku
menepikan motor.
“De, jangan marah dulu. Biar kita bicarakan semuanya baik-baik”
“Enggak !!! Pokoknya aku mau turun disini”
Kutepikan kendaraan, ia pun turun
“De, naik dulu, biar kakak antar pulang. Nanti sampai rumah kita bicarakan
semua”
“Enggak perlu. Aku tahu jalan pulang” tatapan
Linda menahan airmata dikelopaknya.
Linda berjalan menjauh meninggalkanku. Kucoba menahan tangannya. Dengan keras
ia menghempaskan peganganku. Ia berbalik kearahku dengan tangis yang tak lagi
mampu ia bendung. Ia tak mengucapkan sepatah katapun hingga sebuah taksi
berhenti tepat didepannya. Linda memandangku penuh kebencian sebelum berlalu
meninggalkanku sendiri.
v
Suara gaduh terdengar dari arah teras rumah. Awalnya aku tak peduli dengan
semua itu. Hingga kak Della menuju kekamarku dan meminta untuk menemui beberapa
orang yang sedang menunggu diruang tamu. Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa
ketika melihat 4 orang gadis: Amy, Linda, 2 orang yang temanku. Amy dan Linda
memandangku meminta kejelasan status hubungan kami. Jujur saja, hingga saat ini
aku belum berhasil menemukan waktu yang tepat untuk memutuskan Linda. Dan
diwaktu bersamaan, Amy meminta penjelasan atas apa yang kami jalani. Tidak
mudah menentukan pilihan seperti ini, namun ini benar-benar harus ditentukan.
“Kak, apa maksud semua ini?” pertanyaan Amy deras kearahku
“Kakak bilang akan memutuskan Linda. Kenapa sampai sekarang kakak belum putus?
“Kenapa kakak tega melakukan ini ke Amy?” ucapnya menahan sembab dimatanya.
Aku tak punya kekuatan untuk menatap mata Amy. Ada rasa bersalah yang dalam dan
tak mampu kuucapkan padanya. Aku berusaha keras menenangkan perasaanku yang
dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan. Aku benar-benar tidak bisa memilih.
Seandainya ada tempat bagiku untuk melarikan diri dan bersembunyi, aku ingin
segera meninggalkan tempat ini. Tapi sekali lagi, ketidaktegasan sikapku malah
membuat semuanya semakin kacau. Aliran darah deras mengalir ke otak mencari
jawaban.
Kak Della seperti membaca arah pikiranku. Tanpa perintah, akhirnya ia mengambil
alih situasi sebelum aku sempat menjadi nahkoda atas badai yang kuciptakan
sendiri. Ah, aku tak habis-habisnya memaki diri sendiri didalam hati.
“Tan, sekarang kamu sudah menjebak dirimu sendiri dalam situasi ini. Kakak enggakmau
permasalahan ini semakin membesar. Sekarang kamu harus memilih, Linda atau Amy”
pertanyaannya terlontar menghujam deras. Aku terdiam tanpa kata. Linda menunduk
dan Amy tampak menunggu jawabanku
“Tan, jawab?” sambungnya tegas.
Berbagai cerita tentang Amy dan Linda bergantian masuk kedalam pikiranku.
Memenuhi otak hingga seperti hendak pecah, lebur bersama semua kenangan
didalamnya.
“Tan, jawab?” kembali kak Della mendesakku dengan suara agak keras.
Entah apa yang terlintas kemudian hingga tanpa sadar aku mengucapkan satu nama.
“Linda”
Setelah itu aku tak lagi mengucapkan satu kata. Dengan otoritasnya sebagai
orang tertua kala itu, kak Della kembali mengeluarkan maklumatnya yang sangat
tidak ingin kudengar.
“Amy, sudah dengarkan apa pilihannya Sultan. Mulai sekarang jangan lagi Amy
ganggu hubungan Sultan dan Linda”
Amy tampak begitu kuat menerima kenyataan dihadapannya. Ia bahkan berjuang
keras menahan genangan airmatanya agar tak terjatuh. Ia terdiam sejenak sebelum
mengucap kata.
“Terima kasih kak untuk semuanya” suara Amy hampir tak terdengar
Aku begitu membenci kata-kata kak Della. Terlebih, aku sangat membenci diriku
sendiri. Aku ingin menahan langkah Amy yang mulai berlalu. Namun dinding
pembatas telah terpancang meninggi diantara kami. Sedangkan aku, terus terpuruk
dalam rasa bersalah yang dalam.
v
Bandara Husein Sastranegera tampak ramai. Didalam ruangan yang dikepung aroma
dingin, para penumpang pesawat yang baru saja landing mulai menyiapkan kereta dorong untuk
mengambil barang-barang dari bagasi. Tak kalah sibuknya, petugas bandara
memeriksa barang bawaan penumpang satu persatu sebelum melewati pintu keluar.
Dikursi besi memanjang, beberapa penumpang dan para keluarga masih setia
menunggu waktu keberangkatan tiba dengan wajah lelah dan cemas. Disamping
mereka seorang pemuda begitu lahap menyantap segelas popmie dengan nikmat,
kurasa itu adalah menu makan siangnya sebelum pesawat mengajaknya
berputar-putar diangkasa. Masih disekitar area bandara pandanganku terus berkeliling
hingga terhenti pada seorang gadis kecil yang tertawa bahagia dalam gandengan
ibunya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa gembira menatapnya karena senyum
hangatnya melempar ingatkanku pada seseorang. Untuk sesaat wajah lucu gadis
kecil bertopi merah itu menyedot seluruh perhatianku. Tak kusangka hadir
segenggam rindu yang tak kumengerti menguncup kelopak mawar dari surga mana,
Firdauskah? Entahlah.
Bandung masih tetap sama dengan berbagai aktifitasnya yang seperti tak lelah
berlari. Rasa penat dan kerja keras beradu dalam pertarungan diteriknya mentari
siang itu untuk menentukan siapakah yang berhak pulang dengan membawa
kemenangan. Meski setiap orang memiliki hak yang sama untuk kesuksesan namun
ternyata tak semua orang mampu bertahan dari sengatan dan kerasnya tantangan.
Sebagian orang tetap tinggal dikota ini berjuang mempertahankan hidup dengan
cara-cara yang tak mudah. Sebagian yang lain keluar mengejar mimpi-mimpi yang
tak pasti, aku salah satunya. Setelah 1 tahun kuhabiskan waktu dengan bekerja
ditanah borneo dan 2 tahun berikutnya kugunakan waktu untuk kuliah di
Jogjakarta, kali ini aku kembali. Sebuah taksi telah siap mengantarku menuju
rumah. Tak ada hal yang paling menyenangkan saat kepulangan seperti ini selain
pelukan hangat ibu dan keceriaan kakak serta adik-adikku. Rasanya aku tak ingin
membuang-buang waktu. Taksipun bergerak perlahan, entah kerinduan apa yang
menusuk jauh kedalam hatiku hingga aku meminta pak sopir menuju masjid
Ar-Rahman untuk singgah sejenak menunaikan kewajiban asharku.
Sama seperti kota ini yang tak banyak berubah. Masjid inipun masih tetap sama
seperti pertama kali aku berkunjung kesini. Hanya terdapat perbedaan pada warna
dan ukiran kaligrafi yang menghiasi dinding masjid. Jam ukiran kayu yang terus
bergulir seperti kembali membawa kenangan masa lalu. Usai mengambil wudhu,
seorang pria muda memintaku menjadi imam. Dengan mengucap takbir aku memulai
raka’at pertama.
“Allahu akbar” aku merasakan kedekatan yang meneduhkan dengan sang Khalik. Entah
mengapa, tapi beberapa waktu ini aku seperti menjauh dari-Nya.
“Assalamualaikum warahmatullah” kutolehkan kepala kekanan dan kekiri. Usai
berdoa akupun melangkah menuju taksi.
“Assalamualaikum” sapa lembut seorang gadis
“Waalaikumsalam, Aaa…Amy?” tanyaku seperti tak percaya dengan apa yang kulihat.
Gadis itu menatapku dengan senyuman indah. Kerudung besar yang ia kenakan
menambah keanggunan diwajahnya yang diliputi sempurna cahaya purnama. Aku
meyakinkan diriku bahwa ini bukanlah mimpi.
“Apa kabar kak? Sudah lama enggak ketemu”
“Alhamdulillah, kabar baik. Amy bareng siapa?”
“Bareng Galih, Kak”
“Galih?”
“Yang sholat dibelakang kakak. Amy yang memintanya sekalian Amy berjamaah dishaf
wanita. Tadi Amy sempat melihat kakak ditempat wudhu pria. Meski awalnya kurang
yakin, tapi perasaan Amy mengatakan kalau itu kakak. Ternyata Amy benarkan.
Makanya Amy meminta Galih menjadi makmumnya kakak”
Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku tertuju pada pria bernama Galih, kemana ia
saat ini?Apakah ia kekasih Amy? Jika iya, beruntung sekali pria itu bisa
mendapatkan pribadi seperti Amy, gumamku didalam hati. Andai waktu bisa diulang
kembali. Aku tidak akan pernah merasakan kehilangan seperti ini. Rasa bersalah
kembali hadir. Jujur, tak mudah melupakanmu.
“Kakak darimana?” pertanyaan itu meleburkan lamunanku
“Oh,…aku baru datang dari Jogja. Kamu?”
“Amy juga baru tiba dari Malaysia”
“Malaysia?”
“Iya. Amy kuliah disana, Kak. Sekarang lagi proses tahap akhir ujian skripsi.
Tapimumpung ada liburan jadi dimanfaatin saja buat
pulang. Kangen mamah, mau sekalian minta doanya biar urusan disana lancar. Oh
ya, Kakak sendiri dari mana, kok bawaannya banyak?”
“Dari Jogja”
“Jogja? Bikin apa kak?”
“Kerja tapi sekalian kuliah”
“Wah hebat dong. Kuliah fakultas apa?”
“Kedokteran”
“Berarti nanti jadi tukang suntik dong?” ucapnya tersenyum
Aku mengangguk dan ia pun kemudian tertawa. Dari jauh Galih datang dengan
sekantung buah apel menyimpannya dimobil dan perlahan mendekati kami
“Kak, buruan pulang yuk, sudah ditunggu bunda dirumah” ajak suara Galih
“Kakak?” ucapku kaget
“Iya. dia adikku, kuliah di Jogja juga” jawab Amy.
“Amy duluan ya kak. terima kasih sudah mau mengimami kami. Sebenarnya sudah
lama juga Amy ingin diimami kakak. Alhamdulillah, kali ini Tuhan
mengabulkannya” Gadis bergamis indah itu menyedekapkan tangan tersenyum. Aku
semakin salah tingkah
“De, aku minta maaf untuk semua kesalahanku” ucapku pelan.
Gadis itu kembali tersenyum
“Enggak apa-apa, kak. Amy sudah lama memaafkan
dan melupakannya. Nanti kalau kakak ada waktu, jalan-jalan kerumah. Tapi harus
sebelum tanggal 26. Karena tanggal 26 nya Amy sudah balik lagi ke Malaysia.
Kalau kakak mau datang, sms saja dulu. Nanti biar Amy siapkan nasi goreng
kesukaan kakak”
“Insya Allah” jawabku lega
“Sudah dulu ya kak. Kasihan bunda sudah menunggu lama dirumah. Kakak hati-hati
dijalan. Assalamualaikum kak Sultan”
“Waalaikumsalam Rahmy Ananda Putri”